Menikah selalu menjadi tema menarik untuk diperbincangkan di berbagai situasi. Karena menikah merupakan satu dari sekian banyak ekspresi cinta dalam beribadah kepada Sang Maha Menciptakan. Di mana semua kisah tentang cinta, akan selalu hangat jika dibahas dari sudut pandang manapun.
Sederhananya, silahkan bertanya kepada bapak atau ibu anda tentang awal mula mereka berkenalan, hingga kemudan memutuskan menikah. Yang ditanya, pasti berbinar sumringah ketika hendak memulai kisahnya. Jangan berhenti, lanjutkan pertanyaan tentang alasan apa yang menguatkan bapak anda sehingga meminang calon istrinya yang kini menjadi ibu bagi anda. Lalu, tanyakan pula kepada ibu, apa yang menjadi alasan bagi ibu sehingga dengan mantap menerima pinangan bapak anda.
Jika bapak atau ibu kita dahulu, tidak terlalu berbelit dan banyak kriteria terhadap calon istrinya, pun dengan ibu anda yang tak muluk-muluk mengharapkan pangeran dambaan jiwanya, maka di zaman kita ini, hal-hal seperti itu sangat jarang dijumpai.
Entah dari mana mulanya, banyak diantara kita yang banyak menerapkan syarat-syarat aneh tak berdalil dalam mematok calon pasangan hidup kita. Misalnya saja, seorang ibu yang mensyaratkan agar anak laki-lakinya mencari istri yang tinggi badannya, minimal sama dengan tinggi badan anaknya yang 170 cm. Ini mau memilih menantu atau pasukan pengibar bendera?
Atau misalnya, seorang pemuda yang selalu menjadikan wajah sebagai satu-satunya acuan dalam meminang. Jika putih, mengkilap dan mirip artis, barulah diterima. Padahal, agamanya tak menjamin keshalihannya. Namun, ketika yang disodorkan adalah wanita sholihah, dengan jilbab terjuntai, paras teduh bekas wudhu dan menunduk ketika memandang, juga sekian banyak kebaikan yang ia miliki, hanya karena wajah yang agak hitam lantaran rajin melakukan jaulah dakwah, serta merta, wanita sholikhah ini ditolak sebelum dilirik.
Mari, sedikit bernostalgia. Kembali ke tahun 90-an. Di mana ketika itu, dakwah mulai menggeliat di negeri kita ini. Di zaman itu, keshalihan menjadi sangat langka namun dibanggakan oleh penganutnya. Sehingga, keshalihan itu terwujud dalam tiap jenak. Baik itu fisik, pakaian, maupun laku. Hal ini dilengkapi dengan munculnya sosok-sosok berani yang bersemangat dalam menyempurnakan Islam sebagai agamanya. Tanpa berbelit, tanpa banyak alasan, dan sedikit syarat kecuali sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah yang mulia.
Ini kisah nyata, sebut saja namanya Andri. Dalam sebuah perjalanan pulang dari Jakarta ke Semarang menggunakan kereta api, dia ditakdirkan berhadapan tempat duduknya dengan seorang akhwat bernama Andriyani (bukan nama sebenarnya).
Menjelang sampai di Kota Lumpia itu, Andri ditakdirkan oleh Allah untuk bersin, “Haccccciiii...” Serta merta, lantaran gemblengan Islam yang selama ini ia peroleh dan semangat untuk mengamalkannya, lelaki muda ini berucap, “Alhamdulillah..” sebagaimana disunnahkan oleh Nabi. Tak disangka, tak dinyana, perempuan di hadapannya itu menyahut, sebagaimana disunnahkan oleh Nabi ketika mendengarkan orang yang bersin, “yarhamukallah.” Keduanya kemudian saling melirik sebelum akhirnya menundukkan pandangannya masing-masing. Dengan rasa yang tak biasa, Andri kembali menjawab doa yang dilantunkan wanita itu, “yahdikumullah.”
Peristiwa pengamalan sunnah ini terjadi begitu saja. Hingga akhirnya, mereka sampai di stasiun pemberhentian terakhir. Entah apa yang mendorong Andri, ia kemudian memberanikan dirinya untuk menanyakan nama bapak dan alamat perempuan yang menjawab bersinnya dengan doa yang disunnahkan nabi itu.
Bukankah ini hal yang aneh? Jika muda-mudi zaman sekarang, yang ditanya pasti nama, nomor hand phone, akun jejeraing sosial, dan seterusnya. Namun, Andri justru menanyakan nama bapak dan alamatnya.
Keduanya pun berpisah. Dengan tetap saling menundukkan pandangan untuk menguasai hatinya masing-masing. Hingga akhirnya, waktu berjalan beberapa bulan kemudian.
Andri membawa orang tuanya untuk mencari alamat orang tua perempuan yang berhasil menarik hatinya itu. Berbekal nama dan alamat yang diberikan, meski dengan sedikit kesulitan, akhirnya ditemukanlah apa yang mereka cari.
Yang ditamui, kaget bukan kepalang. Seperti ketiban durian runtuh. Disilaturahimi keluarga asing yang langsung mengenalkan diri dengan penuh keakraban. Kebahagiaan bertambah ketika orang tua Andri berkata, “Jadi, maksud kedatangan kami adalah untuk menjalin silaturahim.” Yang punya rumah mengangguk bahagia, dengan senym sumringah.
Tamu yang baru dikenal itu, kemudian melanjutkan penyampaian misinya, “Di samping itu, kami hendak melamar anak bapak untuk anak kami,” sembari menunjuk ke arah anaknya, Andri. Tuan rumah, langsung tercekat. Bingung, haru, bercampur bahagia tak terlukis.
Perbincanganpun kemudian berlanjut dengan kisah cinta yang bersemi di kereta api Jakarta-Semarang bersebab bersinnya Andri. Kedua keluarga itu akhirnya terlibat dalam perbincangan seru, penuh kehangatan dan sarat makna. Yang tak kalah mengejutkan, perempuan shalihah berjilbab rapi itu langsung menerima lamaran lelaki yang datang secara kstaria bersama keluarganya itu.
Akhirnya, keduanya mengikat tali suci bernama pernikahan. Hingga saat ini, keduanya bahagia dengan pilihannya. Bahwa mereka memilih menjaga kesucian dengan menikah. Dengan cara seksama, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Andri, memutuskan memilih Andriyani lantaran ciri keshalihan yang dia temui pada diri wanita itu saat berjumpa di kereta api, pada pertemuan yang hanya sekali itu. Dan Andriyani, menerima lamaran lelaki itu, lantaran ia mengucap hamdalah saat bersin, dan itu satu diantara sekian banyaknya ciri keshalihan. Di samping itu, keberanian diri Andri bersama keluarganya untuk langsung datang ke rumah orang tuanya, merupakan bukti keshalihan lain yang bermakna keseriusan. Andri berani memutuskan untuk memilih demi menjaga kesucian hati, berani melangkah untuk menggapai barokah walimah.
Semoga, Allah hadirkan di zaman kita ini, laki-laki shalih semacam Andri, juga wanita-wanita baik hati semacam Andriyani. Bahkan, lebih baik dari keduanya. Aamiin. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Sederhananya, silahkan bertanya kepada bapak atau ibu anda tentang awal mula mereka berkenalan, hingga kemudan memutuskan menikah. Yang ditanya, pasti berbinar sumringah ketika hendak memulai kisahnya. Jangan berhenti, lanjutkan pertanyaan tentang alasan apa yang menguatkan bapak anda sehingga meminang calon istrinya yang kini menjadi ibu bagi anda. Lalu, tanyakan pula kepada ibu, apa yang menjadi alasan bagi ibu sehingga dengan mantap menerima pinangan bapak anda.
Jika bapak atau ibu kita dahulu, tidak terlalu berbelit dan banyak kriteria terhadap calon istrinya, pun dengan ibu anda yang tak muluk-muluk mengharapkan pangeran dambaan jiwanya, maka di zaman kita ini, hal-hal seperti itu sangat jarang dijumpai.
Entah dari mana mulanya, banyak diantara kita yang banyak menerapkan syarat-syarat aneh tak berdalil dalam mematok calon pasangan hidup kita. Misalnya saja, seorang ibu yang mensyaratkan agar anak laki-lakinya mencari istri yang tinggi badannya, minimal sama dengan tinggi badan anaknya yang 170 cm. Ini mau memilih menantu atau pasukan pengibar bendera?
Atau misalnya, seorang pemuda yang selalu menjadikan wajah sebagai satu-satunya acuan dalam meminang. Jika putih, mengkilap dan mirip artis, barulah diterima. Padahal, agamanya tak menjamin keshalihannya. Namun, ketika yang disodorkan adalah wanita sholihah, dengan jilbab terjuntai, paras teduh bekas wudhu dan menunduk ketika memandang, juga sekian banyak kebaikan yang ia miliki, hanya karena wajah yang agak hitam lantaran rajin melakukan jaulah dakwah, serta merta, wanita sholikhah ini ditolak sebelum dilirik.
Mari, sedikit bernostalgia. Kembali ke tahun 90-an. Di mana ketika itu, dakwah mulai menggeliat di negeri kita ini. Di zaman itu, keshalihan menjadi sangat langka namun dibanggakan oleh penganutnya. Sehingga, keshalihan itu terwujud dalam tiap jenak. Baik itu fisik, pakaian, maupun laku. Hal ini dilengkapi dengan munculnya sosok-sosok berani yang bersemangat dalam menyempurnakan Islam sebagai agamanya. Tanpa berbelit, tanpa banyak alasan, dan sedikit syarat kecuali sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah yang mulia.
Ini kisah nyata, sebut saja namanya Andri. Dalam sebuah perjalanan pulang dari Jakarta ke Semarang menggunakan kereta api, dia ditakdirkan berhadapan tempat duduknya dengan seorang akhwat bernama Andriyani (bukan nama sebenarnya).
Menjelang sampai di Kota Lumpia itu, Andri ditakdirkan oleh Allah untuk bersin, “Haccccciiii...” Serta merta, lantaran gemblengan Islam yang selama ini ia peroleh dan semangat untuk mengamalkannya, lelaki muda ini berucap, “Alhamdulillah..” sebagaimana disunnahkan oleh Nabi. Tak disangka, tak dinyana, perempuan di hadapannya itu menyahut, sebagaimana disunnahkan oleh Nabi ketika mendengarkan orang yang bersin, “yarhamukallah.” Keduanya kemudian saling melirik sebelum akhirnya menundukkan pandangannya masing-masing. Dengan rasa yang tak biasa, Andri kembali menjawab doa yang dilantunkan wanita itu, “yahdikumullah.”
Peristiwa pengamalan sunnah ini terjadi begitu saja. Hingga akhirnya, mereka sampai di stasiun pemberhentian terakhir. Entah apa yang mendorong Andri, ia kemudian memberanikan dirinya untuk menanyakan nama bapak dan alamat perempuan yang menjawab bersinnya dengan doa yang disunnahkan nabi itu.
Bukankah ini hal yang aneh? Jika muda-mudi zaman sekarang, yang ditanya pasti nama, nomor hand phone, akun jejeraing sosial, dan seterusnya. Namun, Andri justru menanyakan nama bapak dan alamatnya.
Keduanya pun berpisah. Dengan tetap saling menundukkan pandangan untuk menguasai hatinya masing-masing. Hingga akhirnya, waktu berjalan beberapa bulan kemudian.
Andri membawa orang tuanya untuk mencari alamat orang tua perempuan yang berhasil menarik hatinya itu. Berbekal nama dan alamat yang diberikan, meski dengan sedikit kesulitan, akhirnya ditemukanlah apa yang mereka cari.
Yang ditamui, kaget bukan kepalang. Seperti ketiban durian runtuh. Disilaturahimi keluarga asing yang langsung mengenalkan diri dengan penuh keakraban. Kebahagiaan bertambah ketika orang tua Andri berkata, “Jadi, maksud kedatangan kami adalah untuk menjalin silaturahim.” Yang punya rumah mengangguk bahagia, dengan senym sumringah.
Tamu yang baru dikenal itu, kemudian melanjutkan penyampaian misinya, “Di samping itu, kami hendak melamar anak bapak untuk anak kami,” sembari menunjuk ke arah anaknya, Andri. Tuan rumah, langsung tercekat. Bingung, haru, bercampur bahagia tak terlukis.
Perbincanganpun kemudian berlanjut dengan kisah cinta yang bersemi di kereta api Jakarta-Semarang bersebab bersinnya Andri. Kedua keluarga itu akhirnya terlibat dalam perbincangan seru, penuh kehangatan dan sarat makna. Yang tak kalah mengejutkan, perempuan shalihah berjilbab rapi itu langsung menerima lamaran lelaki yang datang secara kstaria bersama keluarganya itu.
Akhirnya, keduanya mengikat tali suci bernama pernikahan. Hingga saat ini, keduanya bahagia dengan pilihannya. Bahwa mereka memilih menjaga kesucian dengan menikah. Dengan cara seksama, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Andri, memutuskan memilih Andriyani lantaran ciri keshalihan yang dia temui pada diri wanita itu saat berjumpa di kereta api, pada pertemuan yang hanya sekali itu. Dan Andriyani, menerima lamaran lelaki itu, lantaran ia mengucap hamdalah saat bersin, dan itu satu diantara sekian banyaknya ciri keshalihan. Di samping itu, keberanian diri Andri bersama keluarganya untuk langsung datang ke rumah orang tuanya, merupakan bukti keshalihan lain yang bermakna keseriusan. Andri berani memutuskan untuk memilih demi menjaga kesucian hati, berani melangkah untuk menggapai barokah walimah.
Semoga, Allah hadirkan di zaman kita ini, laki-laki shalih semacam Andri, juga wanita-wanita baik hati semacam Andriyani. Bahkan, lebih baik dari keduanya. Aamiin. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
*http://www.bersamadakwah.com/2014/02/menikah-lantaran-bersin.html
Belum ada tanggapan untuk "Menikah Lantaran Bersin "
Posting Komentar